JAKARTA–MICOM: Indonesia diramalkan sulit lepas dari belenggu kurang gizi lantaran masih memiliki sejumlah kendala yang belum bisa dibenahi. Kendala itu adalah rendahnya pengetahuan masyarakat soal pentingnya asupan gizi, kemiskinan, terbatasnya persediaan pangan, pola asuh yang tidak benar, dan ibu hamil dengan kondisi kesehatan yang buruk.
”Berbagai kendala yang belum dituntaskan ini menyebabkan pengentasan gizi buruk di negara kita sulit dilakukan,” sebut Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi Tirta Prawita Sari di Jakarta, Kamis (18/10).
Tirta mencontohkan, dari rata-rata kehamilan 4 juta per tahun di Indonesia, sekitar 2 juta diantaranya diprediksi mengalami anemi gizi dan sekitar 1 juta mengalami kekurangan energi kronis (KEK). Kondisi ibu hamil yang tidak sehat tentu bakal berdampak pada kesehatan janin.
Faktor kemiskinan, menurut Tirta juga jadi penyumbang masalah kurang gizi yang bila tidak tertangani bisa menjadi gizi buruk. Pasalnya, tingginya malnutrisi juga disebabkan oleh rendahnya asupan makanan sumber protein seperti daging dan susu di anak-anak.
Konsumsi rata-rata daging rakyat Indonesia hanya 4,5 Kg per tahun. Artinya, konsumsi rata-rata daging orang Indonesia tertinggal 38,5 kg dari Malaysia yang rata-rata melahap 46,87 kg daging per tahun, tertinggal 14 kg dari Thailand dan 8,5 kg dari Filipina.
”Kemiskinan membuat banyak kepala keluarga tidak bisa membeli daging dan susu. Padahal bahan makanan itu adalah sumber protein yang berperan penting bagi pertumbuhan anak.”
Selain itu, lanjut dia, pos pelayanan terpadu (posyandu) yang seyogianya menjadi ujung tombak sosialisasi pentingnya mengonsumsi makanan bergizi ke masyarakat juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tirta beranggapan, posyandu hanya dijadikan tempat pemberian makanan tambahan, bukannya meningkatkan kualitas pola makan bergizi secara berkala.
Akumulasi dari berbagai masalah tersebut menyebabkan anak-anak Indonesia memiliki masalah lain selain kurang gizi. Masalah itu adalah munculnya anak-anak dengan balita bertubuh pendek (stunting) jauh di bawah standar yang telah ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes pada 2010 memperkirakan prevelensi (rata-rata per seribu) balita tubuh pendek di Indonesia adalah 35,6% sementara prevelensi balita yang kurus sebesar 13,3%. Kasus stunting adalah manifestasi dari tingginya angka Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita.
Kurangnya asupan energi pada anak tidak hanya sekadar disebabkan keterbatasan ekonomi, namun juga akibat pola asuh yang kurang baik sehingga anak terbiasa mengonsumsi makanan yang kurang sehat.
Menurut Duta Millenium Development Goals (MDGs) untuk Indonesia Nila Moeloek di Jakarta, Kamis (18/10), sejatinya memang prevelensi gizi buruk berhasil ditekan dari 9,7% di 2005 menjadi 4,9% pada 2010.
Sehingga, lanjut dia, guna memenuhi target MDGs penurunan gizi buruk menjadi 3,6% pada 2015 diperlukan usaha ekstra keras bagi Indonesia. (Tlc/OL-04)
Sumber : Cornelius Eko Susanto