Malnutrisi, Ketahanan Pangan dan Keragaman Pangan

oleh | Sep 24, 2012 | Catatan Kang DK, Malnutrisi & MDGs

Malnutrisi disebabkan oleh kekurangan baik macronutrients mapun mikronutrien atau bahkan keduanya. Kekurangan gizi mikro (micronutrient) biasanya disebut sebagai kelaparan yang terselubung (hidden hunger).  Kondisi ini juga terkait dengan kerawanan pangan dan keragaman pangan, terutama jika makanan yang dikonsumsi memiliki kualitas diet rendah (Ruel, 2003).

Malnutrisi

Malnutrisi merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia dan faktor risiko yang paling penting adalah bahwa secara global malnutrisi menyumbang lebih dari setengah kematian pada anak-anak (WHO, 2000).  Malnutrisi dibagi menjadi dua kategori yaitu kelebihan gizi (overnutrition) dan kekurangan gizi (undernutrition).

Diferensiasi kekurangan gizi terdiri dari Kekurangan Energi Protein (KEP) dan kekurangan gizi mikronutrien. Coovadia dan Wittenberg (2003) melaporkan bahwa gangguan tertinggi gizi secara global adalah KEP dengan Marasmus Kwashiorkor dalam bentuk yang paling parah.  Selain KEP, anak-anak dapat dipengaruhi oleh defisiensi mikronutrien, yang juga memiliki efek yang merugikan pada pertumbuhan dan perkembangan (WHO, 2000).  Sayangnya, tingkat yang sangat tinggi dari malnutrisi mikronutrien bertahan pada saat ini di negara-negara miskin dan berkembang seperti Afrika misalnya (dan Indonesia ?).  Padahal, komitmen untuk secara drastis mengurangi malnutrisi mikronutrien telah dibuat pada konferensi internasional mengenai nutrisi yang diadakan pada tahun 1992 dan juga pada KTT Pangan Dunia yang diselenggarakan pada tahun 1996 (Aphane, Chanda, dan Olouch, 2003).

Di indonesia, malnutrisi mikronutrin ini menjadi masalah tersendiri karena ketiadaan data yang valid mengenai hal itu. Padahal, diketahui jumlah anak balita saat ini sekitar 12 persen (sekitar 28,5 juta jiwa) dari total penduduk, yang berdasarkan Sensus Penduduk 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa. Kelompok penduduk ini juga rentan terhadap masalah nutrisi dan kesehatan. Menurut Sandjaja, dalam kompas.com, untuk membuat sebuah program intervensi nutrisi terkait pengembangan anak dan kekurangan gizi, tentu diperlukan sebuah survei dasar untuk memperoleh informasi mengenai masalah nutrisi, terutama kekurangan nutrisi mikronutrien. “Data-data mengenai kekurangan mikronutrien seperti vitamin A, B, D, asam folat, atau zinc di Indonesia sangat terbatas,” kata ketua Penelitian dan Pengembangan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) ini.

Aulia Yusticia (2012) menuturkan bahwa menurut kebutuhannya,  zat nutrien terbagi dalam dua golongan besar yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien adalah Komponen terbesar dari susunan diet, berfungsi untuk menyuplai energi dan zat-zat esensial (pertumbuhan sel/ jaringan), pemeliharaan aktivitas tubuh. Makronutrien terdiri dari karbohidrat (hidrat arang), lemak, protein, makromineral dan air.

Mikronutrien adalah zat gizi (nutrien) yang diperlukan oleh tubuh manusia selama hidupnya dalam jumlah kecil untuk melaksanakan fungsi-fungsi fisiologis, tetapi tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh. Mikronutrien terdiri dari vitamin dan mineral yang tidak dapat dibuat oleh tubuh tetapi dapat diperoleh dari makanan. Walaupun dibutuhkan dalam jumlah kecil, tetapi berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia.

Kekurangan mikro dan makro nutrien dapat berakibat fatal bagi, bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan ibu hamil. Untuk mengetahui apa dampaknya, silahkan klik disini.

Menurut Angela Kearney, Perwakilan UNICEF di Indonesia, Di Indonesia, 1 dari setiap 3 anak di bawah usia lima tahun masih menderita kekurangan gizi.  Malnutrisi adalah penyebab dari separuh kematian anak Indonesia, lanjutnya, dan bagi mereka yang bertahan hidup, kekurangan gizi masih menyebabkan masalah jangka panjang seperti terhambatnya perkembangan otak yang mempengaruhi kecerdasan dan potensi belajar, pertumbuhan fisik berkurang yang pada gilirannya dapat menyebabkan kekebalan terhadap penyakit melemah dan rendah produktivitas, dan peningkatan risiko berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes, penyakit obesitas, jantung dan stroke. Selain dampak pada perorangan, studi terakhir membeberkan bahwa kekurangan gizi juga menyebabkan Indonesia kehilangan Rp 62 triliun setiap tahun dalam produktivitas yang hilang melalui standar pendidikan yang buruk dan kemampuan fisik berkurang. (http://www.unicef.org).

 Ketahanan pangan

Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (USAID) mengartikan ketahanan pangan sebagai, “ketika semua orang setiap saat memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan diet mereka untuk kehidupan yang produktif dan sehat”.  Ada tiga komponen utama dari ketahanan pangan, yaitu: ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan.

USAID (2006) mendefinisikan ketersediaan pangan sebagai “jumlah yang cukup dari produksi dalam negeri, impor komersial atau donor yang konsisten tersedia bagi individu dalam rumah tangga “.  Aksesibilitas pangan didefinisikan sebagai “kemampuan untuk memperoleh kualitas yang memadai dan kuantitas makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi semua anggota rumah tangga ‘untuk hidup produktif”.  Sedangkan pemanfaatan makanan didefinisikan sebagai terjadi ketika makanan benar digunakan, diproses dan disimpan dan “pengetahuan yang memadai tentang perawatan gizi dan anak ada dan diterapkan, dan kesehatan yang memadai dan sanitasi yang ada”.

Ketiga komponen ketahanan pangan menentukan kualitas makanan rumah tangga dan keragaman makanan melalui konsumsi sejumlah kelompok makanan yang berbeda selama periode waktu tertentu. Akhir-akhir ini, keempat komponen telah ditambahkan, yaitu stabilitas pangan, yang mempengaruhi semua tiga komponen (Klennert, 2005).

Terkait Ketahanan Pangan di Indonesia, menurut BAPPENAS terdapat 4 isu strategis nasional, yaitu :

  1. Peningkatan produksi pangan, terutama pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014 serta pencapaian produksi perikanan 22,39 juta ton pada tahun 2014.
  2. Percepatan diversifikasi konsumsi pangan.
  3. Stabilisasi harga bahan pangan dalam negeri.
  4. Peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan.

 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan di Indonesia

sumber : bkp.deptan.go.id

Keterangan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia :

Dari 346 kabupaten yang dianalisis Dewan Ketahanan Pangan (DKP) terdapat 100 kabupaten yang memiliki tingkat resiko kerentanan pangan yang tinggi dan memerlukan skala prioritas penanganan.

Di antara 100 kabupaten berperingkat terbawah yang disebut dalam Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 tersebut dibagi lagi menjadi tiga wilayah prioritas, yakni: prioritas 1, prioritas 2 dan prioritas 3.

Ada 30 Kabupaten yang termasuk Prioritas 1 untuk mendapatkan penanganan, yakni sebagian besar kabupaten tersebar di Indonesia bagian Timur, terutama di Papua (11 kab), NTT (6 kab) dan Papua Barat (5 kab). Total jumlah penduduknya mencapai 5.282.571 jiwa.

Yang termasuk Prioritas 2 terdapat 30 kabupaten, yakni sebagian besar terdapat di Kalimantan Barat (7 kab), NTT (5 kab), NAD (4 kab), dan Papua (3 kab). Total jumlah penduduknya mencapai 7.671.614 jiwa.

Yang termasuk Prioritas 3 terdapat 40 kabupetan, yakni sebagian besar terdapat di Kalimantan Tengah (6 kab), Sulawesi Tengah (5 kab) dan NTB (4 kab). Total jumlah penduduk di wilayah Prioritas 3 ini 11.785.667 jiwa.

Penentuan status ketahanan dan kerentanan suatu wilayah dalam peta ini didasarkan pada 13 indikator yang dikelompokkan dalam 4 katagori. Pertama, ketersediaan pangan. Indikator yang dianalisis adalah 1) konsumsi normatif per kapita terhadap rasio ketersediaan bersih padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar. Kedua, Akses terhadap Pangan. Indikatornya: 2) Persentase penduduk di bawah garis kemiskinan; 3) Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, dan 4) Persentase penduduk tanpa akses listrik.

Ketiga, Pemanfaatan Pangan (Konsumsi pangan, kesehatan dan gizi). Indikatornya adalah: 5) Angka harapan hidup pada saat lahir, 6) Berat badan balita di bawah standar, 7) Perempuan buta huruf, 8) Rumah tangga tanpa akses air bersih; dan 9) Persentase penduduk yang tinggal lebih dari 5 Km dari fasilitas kesehatan.  (Sumber : Kompasiana)

 

Diet berkualitas

Kualitas makanan mengacu pada kecukupan nutrisi dalam makanan. Kualitas makanan memiliki dua komponen, yaitu keanekaragaman makanan dan berbagai makanan atau makanan (Ruel, 2003, SCN, 2007).  Keragaman makanan digambarkan sebagai jumlah makanan atau kelompok makanan yang dikonsumsi selama periode waktu tertentu (Drewnowski, Henderson, Driscoll, dan Rolls, 1997).  Ruel (2003) dan Onyango (2003) juga menunjukkan bahwa keanekaragaman makanan secara langsung berkaitan dengan kualitas makanan.

Sebuah rumah tangga dapat mencerminkan diet berkualitas jika rumah tangga itu memperoleh makanan yang aman, melalui kualitas makanan yang memenuhi kebutuhan gizi rumah tangga (Ruel, 2003 ).  Merupakan hal yang penting bahwa asupan nutrisi makanan perlu ditingkatkan karena diet yang tidak memadai dalam kondisi kerawanan pangan dapat menjadi penyebab langsung kekurangan gizi (Wenhold dan Faber, 2006).  Hal ini terutama berlaku dari anak-anak, karena kebutuhan selama siklus hidupnya dan berbagai tahap perkembangannya.

Mengingat nutrisi yang terkandung didalamnya, daun kelor dapat memberikan kontribusi terhadap keanekaragaman makanan dan kualitas makanan dari rumah tangga yang membutuhkan peningkatan asupan gizi mereka.  Namun juga penting untuk mengetahui daya terima masyarakat terhadap daun Kelor sebagai sumber nutrisi yang berkualitas.

Meskipun tanaman kelor ada di hampir seluruh wilayah Indonesia, digunakan sebagai tanaman pagar dan pembatas lahan di desa-desa, namun keberadaannya tidaklah banyak.  Sehingga perlu dilakukan gerakan masyarakat untuk memberikan informasi tentang manfaat daun Kelor untuk memenuhi asupan gizi keluarganya yang disertai dengan gerakan penanaman Kelor di pekarangan rumah mereka. Dan, itulah yang tengah kami lakukan, dengan harapan bantaun Anda tentunya. 🙂

Tentang kami
Donasi
Share This